Zaman Orde Lama ( bagian. 2 )
Demokrasi Terpimpin Soekarno
Soekarno sadar bahwa periode demokrasi liberal telah menghambat perkembangan Indonesia karena perbedaan-perbedaan ideologis di dalam kabinet. Solusi yang disampaikan Soekarno adalah "Demokrasi Terpimpin" yang berarti pengembalian kepada UUD 1945 yang mengatur sistem kepresidenan yang kuat dengan tendensi otoriter. Dengan cara ini, ia memiliki lebih banyak kekuasaan untuk melaksanakan rencana-rencananya. Pihak militer, yang tidak senang dengan perannya yang kecil dalam soal-soal politik hingga saat itu, mendukung perubahan orientasi ini.
Pada tahun 1958, Soekarno telah menyatakan bahwa militer adalah sebuah 'kelompok fungsional' yang berarti mereka juga menjadi aktor dalam proses politik dan pada periode Demokrasi Terpimpin, perannya tentara dalam politik akan menjadi lebih besar.
Pada tahun 1959, Soekarno memulai periode Demokrasi Terpimpin. Ia membubarkan parlemen dan menggantinya dengan parlemen baru yang setengah dari anggotanya ditunjuk sendiri oleh Soekarno. Soekarno juga sadar akan bahayanya bagi kedudukannya bila militer menjadi terlalu kuat.
Karena itu, Soekarno mengandalkan dukungan dari PKI untuk mengimbangi kekuatan militer. Baik militer maupun PKI merupakan bagian dari filosofinya yang disebut 'Nasakom', sebuah akronim yang mencampurkan tiga buah ideologi yang paling penting dalam masyarakat Indonesia pada tahun 1950an dan awal 1960an yaitu nasionalisme, agama, dan komunisme. Ketiga komponen ini hanya memiliki sedikit kesamaan, bahkan tiap komponen bermasalah dengan komponen lainnya. Semuanya tergantung pada kemampuan politik, kharisma dan status Soekarno untuk tetap menjaga kesatuan ketiga komponen ini.
Karakteristik penting lain dari Demokrasi Terpimpin Soekarno adalah tendensi anti Barat dalam kebijakan-kebijakannya. Beliau memperkuat usaha-usaha untuk mengambil alih bagian Barat pulau Papua dari Belanda. Setelah sejumlah konflik bersenjata, Belanda menyerahkan wilayah ini ke Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) yang kemudian menyerahkannya kepada Indonesia pada tahun selanjutnya.
Dari 1962 sampai 1966, Soekarno menggelar politik konfrontasi melawan Malaysia. Ia menganggap pendirian Federasi Malaysia, termasuk Malaka, Singapura, dan wilayah Kalimantan yang sebelumnya dikuasai Inggris (Sarawak dan Sabah), sebagai kelanjutan dari pemerintah kolonial dan melaksanakan kampanye militer yang tidak sukses untuk ‘menghancurkan’ Malaysia.
Bagian dari kebijakan konfrontasi ini adalah keluarnya Indonesia dari PBB karena PBB mengizinkan Malaysia menjadi negara anggota. Pada tahun 1965, Soekarno terus memutuskan hubungan dengan dunia kapitalis Barat dengan mengeluarkan Indonesia dari keanggotaan International Monetary Fund (IMF) dan Bank Dunia, yang berarti bantuan asing yang sangat dibutuhkan berhenti dialirkan ke Indonesia. Hal ini memperburuk situasi ekonomi Indonesia yang telah mencapai level ekstrim berbahaya pada saat itu.
Kudeta Misterius Gerakan 30 September
Masalah antara ketiga komponen Nasakom membesar. Pada 30 September 1965, menjadi jelas betapa berbahayanya campuran politis yang telah diciptakan Soekarno. Pada malam itu, enam jenderal dan satu letnan diculik dan dibunuh oleh perwira-perwira aliran kiri yang menamakan diri Gerakan 30 September. Berdasarkan tuduhan yang ada, para perwira militer yang terbunuh ini merencanakan kudeta untuk menjatuhkan Soekarno. Namun, tidak ada bukti bahwa akan ada kudeta militer melawan Soekarno.
Juga tidak ada bukti bahwa PKI berada di belakang serangan untuk mencegah kudeta militer ini. Namun, Suharto, kepala dari Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad) yang kemudian mengambil alih kekuasaan militer karena menjadi perwira militer tertinggi setelah pembunuhan atasannya, dengan cepat menyalahkan PKI. Dengan segera, pengikut komunis dan orang-orang yang diduga mengikuti komunis dibantai terutama di Jawa Tengah, Jawa Barat, Bali dan Sumatra Utara.
Dugaan jumlah korban bervariasi di antara 400.000 sampai satu juta orang. Diduga bahwa pihak-pihak yang melakukan pembantaian adalah unit-unit militer, kelompok-kelompok kriminil sipil (yang mendapatkan senjata dari militer) dan Ansor (organisasi pemuda militan dari NU). Pembantaian ini berlanjut sepanjang 1965 dan 1966.
Namun, banyak isu mengenai kudeta ini dan tindakan-tindakan anti-komunis selanjutnya tetap tidak jelas sampai saat ini dan kemungkinan besar tidak akan diketahui kebenarannya. Setelah Orde Baru Suharto berakhir pada tahun 1998, masyarakat Indonesia mulai meragukan penjelasan resmi dari Pemerintah yang menyalahkan komunis namun bab sejarah ini tidak menerima perhatian besar dalam diskusi publik, kecuali sebuah laporan dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) pada tahun 2012 yang menyatakan pembantaian ini sebagai pelanggaran hak asasi manusia luar biasa.
Kudeta ini dan peristiwa-peristiwa selanjutnya menyebabkan konsekuensi-konsekuensi politis dramatis untuk Soekarno. Indonesia berada di bawah hukum darurat militer yang membuat kekuasaan nyata berada di tangan Jenderal Suharto. Selama dua tahun selanjutnya, Suharto dengan pelan namun pasti memperluas kekuasaannya dan menyudutkan Soekarno ke pinggir. Hal ini menandai dimulainya Orde Baru Suharto. Soekarno ditempatkan di bawah tahanan rumah di Bogor (Jawa Barat) dan kesehatannya menurun hingga kematiannya pada tahun tahun 1970.
Indeks : https://www.indonesia-investments.com/id/budaya/politik/item65?
: https://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_pulau_di_Indonesia
